MAKASSAR – Lahirnya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022 merupakan sebuah langkah maju yang dibuat oleh Negara Indonesia dalam menghasilkan pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia, khususnya tentang kekerasan seksual. Melalui UU TPKS, Negara mengakui bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan dan penanganan beragam kasus kekerasan seksual dan akses pemulihan bagi korban.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Yayasan Rumah Mama Makassar, Lusia Palulungan pada Seminar Nasional “Sinergi dan Penguatan Partisipasi Multi Pihak Dalam Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” pada  Jumat, 15 Juli 2022 di Makassar.

Faktor penghambat upaya mencapai keadilan hukum bagi korban mewujud dalam berbagai bentuk, misalnya penegakan hukum didominasi kesulitan pembuktian, aparat penegak hukum yang belum berperspektif korban sehingga menyebabkan proses penyidikan yang berlarut larut. Para pendamping korban tidak jarang mendapat intimidasi dan serangan yang berkaitan dengan pendampingan korban.

Keterbatasan infrastruktur, kekurangan Sumber Daya Manusia, fasilitas dan anggaran juga menjadi kendala optimalisasi pekerjaan lembaga layanan. Pada akhirnya berdampak pada impunitas pelaku.

Perjalanan panjang proses UU TPKS akhirnya berhasil merumuskan sebuah hukum acara pidana khusus yang memuat prinsip-prinsip penanganan, pelindungan dan pemulihan korban secara komprehensif. Demikian pula mengintegrasikan semangat pencegahan keberulangan kasus dengan merehabilitasi pelaku sehingga tercipta lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

Substansi UU TPKS tersebut mendorong aparat penegak hukum dan institusi terkait untuk mengurai faktor-faktor penghambat diatas demi optimalisasi penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Walau peraturan pelaksana UU belum atau masih dalam proses diterbitkan bukan berarti proses peradilan dengan UU TPKS tidak bisa dilakukan. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa langsung diterapkan dan digunakan oleh aparat penegak hukum (apgakum) dalam proses penyidikan suatu kasus. Proses penegakkan hukum bisa menggunakan delik pidana atau hukum acara sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS.

Upaya percepatan implementasi UU TPKS menjadi kebutuhan bersama, mengingat kasus kekerasan seksual yang terus terjadi.

Menurut CATAHU 2022, Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan siber berbasis gender (KSBG) meningkat hingga 83% yakni sebanyak 940 kasus menjadi 1.721 kasus . Sebesar 99 % Kekerasan Berbasis Gender terjadi di ranah personal dan lingkup keluarga kemudian ranah publik dan ranah negara. Kemudian yang menjadi catatan, pelaku kekerasan seksual justru adalah orang yang memiliki wewenang atau tanggung jawab untuk melindungi korban.

Sinergi dan partisipasi multi-pihak menjadi kunci agar hambatan dan tantangan yang muncul dari proses tersebut dapat dibicarakan bersama-sama dan menemukan solusi, sehingga upaya pelindungan setiap orang dari kekerasan seksual sesuai amanat UU TPKS dapat segera diimplementasikan.

Tujuan
Lusia menguraikan, tujuan dari Seminar Nasional ini adalah untuk :
1. Membangun ruang dialog multi-stakeholder tentang upaya percepatan implementasi UU TPKS baik melalui peraturan pelaksanaan turunan maupun ketentutan terkait lainnya.
2. Mengajak publik untuk dapat secara aktif berpartisipasi dalam pencegahan dan pemantauan dalam upaya pengawalan implementasi UU TPKS.

Situasi Terkini Setelah Ditetapkannya UU TPKS

Berbagai kasus kekerasan seksual belakangan ini mencuat kembali dalam pemberitaan media di berbagai daerah di tanah air. Padahal sejak April 2022 lalu pemerintah sudah mengeluarkan Undang Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pencegahan KS rupanya belum menjadi perhatian di masyarakat kita. Yang sangat disayangkan, pelaku Kekerasan Seksual adalah orang-orang yang diharapkan menjadi panutan dan pelindung bagi korban.

Korban mengalami kekerasan berulang dan tidak berani melapor karena minimnya akses dan kurangnya dukungan orang sekitar. Di lain pihak Aparat Penegak Hukum seringkali lamban memproses kasus KS sehingga terjadi impunitas pada pelaku. Kurangnya sarana dan prasarana juga menjadi hambatan dalam memproses kasus KS dengan optimal.

Perjalanan Panjang proses legislasi UU TPKS sejak 2005 telah menghasilkan rumusan yang komprehensif dalam memproses Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Korban dan pelaku keduanya menjadi subjek penting untuk dipulihkan agar dapat kembali ke tengah masyarakat. Amanat baik UU TPKS bertujuan untuk perubahan agar Indonesia terbebas dari kekerasan seksual belum tersampaikan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat.

Atas dasar itu Perempuan Mahardhika bekerjasama dengan Yayasan Rumah Mama Makassar melakukan upaya sosialisasi dan mengajak partisipasi multi pihak untuk:
1. Mengawal agar UU TPKS segera digunakan untuk dalam penanganan kasus Kekerasan Seksual.
2. Mensosialisasikan ke seluruh elemen masyarakat untuk membangun kesadaran bersama dalam upaya pencegahan serta terlibat dalam pemantauan implementasinya.
3. Mendorong pemerintah daerah agar memaksimalkan layanan UPTD PPA dalam memproses kasus TPKS.
4. Mendorong Aparat Penegak Hukum agar memberi edukasi dan pendalaman tentang teknis TPKS kepada Aparat Penegak Hukum.
5. Mendorong Lembaga Pendidikan untuk membentuk SatGas TPKS untuk mencegah peningkatan KS di Lembaga Pendidikan.