RAKYAT NEWS, MAKASSAR – Pusat Studi Kebencanaan pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin menyelenggarakan diskusi ilmiah bertema “Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi Sumatra bagi Sulawesi”.

Kegiatan ini hadir sebagai upaya memperkuat kewaspadaan dan kesiapsiagaan daerah terhadap potensi ancaman bencana hidrometeorologi.

Kegiatan menghadirkan para pakar lintas bidang yang berpengalaman dalam riset kebencanaan, pemodelan iklim, kebijakan mitigasi, hingga respons cepat di lapangan. Kegiatan berlangsung mulai pukul 13.30 Wita, melalui aplikasi zoom meeting, Selasa (09/12).

Hadir sebagai narasumber Prof. Dr. Eng. Adi Maulana, ST., M.Phill (Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan dan Bisnis, ahli kebencanaan Unhas), Prof. Dr. Halmar Halide, M.Sc (ahli pemodelan iklim Unhas), Dr. Yenny Vetrita (anggota Task Force Bencana Sumatra BRIN), Dr. Amson Padolo, S.Sos., M.Si (Kepala BPBD Sulsel), Irwan Slamet, ST., MT, (Kepala Balai BMKG Wilayah IV), serta Muhammad Syukri Turusi, ST (perwakilan DMC Ikatek UH).

Kepala Pusat Studi Kebencanaan Unhas, Dr. Eng Ilham Alimuddin, ST., MGIS., menjelaskan, kegiatan ini berfokus pada analisis komprehensif terhadap rangkaian bencana hidrometeorologi yang terjadi di Sumatra, termasuk banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

“Tujuannya untuk menekankan perlunya peningkatan kapasitas riset pemodelan iklim, sistem peringatan dini, serta integrasi data multisumber untuk memperkirakan potensi risiko di Sulawesi. Pendekatan berbasis sains dianggap krusial untuk memperkuat kebijakan mitigasi pemerintah daerah,” jelas Ilham.

Sebagai salah satu narasumber, Prof Adi memberikan gambaran tentang “New Normal Bencana Hidrometeorologi: Pelajaran dari Sumatera untuk Sulawesi Selatan”. Dirinya menjelaskan, Indonesia saat ini telah memasuki new normal bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim dan degradasi lahan.

“Fenomena yang dulunya jarang terjadi, seperti siklon tropis dekat ekuator, kini makin sering muncul. Kondisi atmosfer dan laut yang berubah 1–2°C lebih hangat menyebabkan hujan ekstrem dan risiko banjir meningkat secara signifikan, sehingga pendekatan mitigasi harus menggunakan skenario ekstrem, bukan lagi data historis,” jelas Prof Adi.

Prof Adi kemudian mengulas studi kasus Bencana Sumatra 2025, ketika siklon tropis memicu hujan ekstrem hingga 400 mm/hari, menyebabkan banjir bandang dan banjir genangan terjadi bersamaan di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) besar.

Dirinya menegaskan, degradasi hulu, urbanisasi pesisir, serta melemahnya sistem penyangga ekologi memperburuk dampak bencana. Kondisi tersebut menjadi peringatan dini bagi Sulsel yang memiliki kesamaan karakteristik kerentanan.

“Kasus Sumatra sangat relevan bagi Sulawesi Selatan, mengingat karakteristik geomorfologi dan kondisi sosial-ekonomi wilayah ini. Topografi kontras, DAS pendek dan curam, serta urbanisasi pesisir meningkatkan potensi banjir perkotaan dan banjir bandang. Dalam konteks ini, penguatan mitigasi, tata kelola lahan, dan kesiapsiagaan regional menjadi kunci untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi ekstrem di masa depan,” tambah Prof Adi.

Prof Adi menekankan, bencana Sumatra merupakan peringatan bahwa siklon dan hujan ekstrem dapat berdampak besar meski pusatnya jauh dari daratan.

Sulawesi Selatan berada pada titik krusial, sehingga adaptasi harus dilakukan sejak sekarang. Dengan kolaborasi akademisi, pemerintah, dan masyarakat, diharapkan Sulsel mampu membangun ketangguhan wilayah menghadapi era new normal hidrometeorologi.

Melalui kegiatan ini, Pusat Studi Kebencanaan Unhas menegaskan komitmennya untuk menjadi pusat keilmuan yang berperan aktif dalam penguatan ketangguhan wilayah menghadapi risiko bencana. Diskusi ini diharapkan menjadi rujukan penting bagi pemangku kepentingan dalam membangun strategi mitigasi yang lebih adaptif, berbasis sains, dan berorientasi jangka panjang. (*)

YouTube player