RAKYAT NEWS, MAKASSAR – Pergerakan kebangsaan bukan sekadar peristiwa sejarah yang selesai pada 1945. Ia adalah proses yang terus berlangsung, menuntut kesadaran, koreksi, dan pembaruan arah. Kesadaran inilah yang menjadi pemantik dalam kegiatan rutin bulanan “Membaca Kembali Bung Hatta.”

Memasuki seri ke-13, kegiatan yang digelar oleh Ma’REFAT Institute Sulawesi Selatan bersama Forum Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (FA-SPBH) dan Book Club Alumni SPBH-1, dilaksanakan di Makassar pada Minggu 14 Desember 2025, dengan mengangkat topik Tujuan Pergerakan Kebangsaan.

Diskusi dipandu oleh Zulkifli Tryputra dengan dua pemantik utama, Rahmadi Nurdin; Peneliti LINGKAR (Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat) yang juga Mahasiswa Pascasarjana Unhas dan Hasbullah Hakim; Alumnus Inspiratif Unhas, serta CEO Dialektika Bookshop Makassar.

Mengutip Bung Hatta, Rahmadi membuka pemaparan, “Bagi Hatta, pergerakan nasional adalah fenomena historis yang jauh lebih dalam, karena ia tumbuh dari pengalaman kolektif suatu bangsa yang hidup dalam kondisi penindasan struktural.” Definisi pergerakan sebagai proses historis memiliki implikasi teoritis yang sangat penting. Dengan pendekatan ini kita dapat merentangkan konteks pergerakan dari zaman kolonial hingga hari ini.

Pergerakan nasional adalah fenomena historis yang tumbuh dari pengalaman dan kesadaran kolektif. Jika pergerakan dipahami sebagai kesadaran kolektif, maka ia tidak dapat dimatikan melalui tindakan represif seperti pembubaran partai, penangkapan pemimpin, atau sensor pers. Kesadaran nasional, menurut Hatta, justru akan terus berkembang seiring bertambahnya pengalaman ketidakadilan dan eksploitasi, tegas Rahmadi.

“Hatta lebih memilih membangun gerakan dan pemerintahan yang sepenuhnya bebas dari pengaruh penjajah,” tegas Hasbullah mengambil alih sesi. Pada masa itu, sebagian rakyat belum sepenuhnya yakin akan adanya kemerdekaan, sehingga menerima bentuk pemerintahan yang tetap mengakui penjajah. Konsep “Indonesia Dominion” berkembang pada saat itu, yang berarti Indonesia memerintah sendiri, namun masih mengakui penjajah sebagai kepala negara. Bagi Hatta, sikap ini melukai harga diri dan kedaulatan rakyat Indonesia.