MAKASSAR – Biaya uang panai’ (Bahasa Bugis: dui menre/fappenre) yang diidentikkan masyarakat Sulsel sebagai mahar atau maskawin bakal berpetuah, demi meringankan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel tengah menggarap fatwanya, (11/6/2022).

Baca juga : Ketua Komisi Fatwa MUI Sulsel Ajak Kader IPNU Berperan Aktif di Masjid

Ketua Bidang Fatwa MUI Sulsel Dr KH Ruslan Wahab MA, mengatakan, MUI Sulsel akan mengadakan focus group discussion (FGD) terkait fatwa uang panai dalam waktu dekat ini.

“Dengan pertimbangan dalil nantinya kita harapkan terjadi kemudahan dan kemaslahatan bersama di masyarakat terutama tentang uang panai. Intinya kita berupaya untuk menciptakan kemudahan dan kemaslahatan di masyarakat,” kata KH Ruslan Wahab.

Baca juga : Plt Gubernur Terima Kunjungan Dewan Pertimbangan MUI Sulsel

KH Ruslan mengingatkan masyarakat, dalam Islam pernikahan harus dimudahkan. Terkait tingginya uang panai, “Hanya adat-lah yang menginginkan seperti itu.”

Peneliti Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta, Nysa Riskiah Lakara, memaparkan, tradisi uang panai yang menjadi adat di Sulawesi Selatan, tidak dijelaskan didalam al-Qur’an, Tafsir al-Misbah maupun dalam agama Islam, yang ada adalah mahar.

Walaupun pemberian uang panai tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panai sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal ini diperbolehkan.

Baca juga : Jabat Sekretaris MUI Sulsel, Fadli Ananda Komitmen Berdayakan Ekonomi Ummat

Mahar dan uang panai merupakan dua perbedaan yang tidak bisa disatukan, jika mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki pada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah maka uang panai adalah uang panai’ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.