RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Warga Bara-Baraya, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, hidup dalam ketidakpastian di atas tanah mereka sejak 2017. Ancaman penggusuran menjadi bayang-bayang terus membuntuti setelah munculnya Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 4 versi 2016 yang dianggap sebagai dokumen baru yang sah oleh pihak-pihak tertentu.

Setelah jalan panjang menuntut keadilan, warga terdampak melaporkan dugaan pemalsuan keterangan akta otentik oleh Nurdin Dg. Nombong dkk ke Polda Sulawesi Selatan.

Kasus ini berawal dari laporan kehilangan yang diajukan Nurdin Dg. Nombong pada tahun 2013 terkait SHM No. 4 yang Ia klaim hilang sejak tahun 2007. Berdasarkan laporan ini, kemudian diterbitkanlah sertifikat pengganti pada tahun 2016. Padahal, dalam putusan Nomor: 2/Pdt.G/2017/PN Mks, terungkap fakta bahwa Nurdin dan rekan-rekannya telah menjual tanah dengan sertifikat yang sama sebelumnya, sebelum mengklaim bahwa sertifikat itu hilang.

“Kami telah berjuang bertahun-tahun untuk mempertahankan hak atas tanah kami, tapi selalu terbentur oleh upaya pihak lain yang berusaha menggusur kami dengan dalih hukum yang seakan-akan sah,” pengakuan warga terdampak.

Warga menilai bahwa kasus ini telah direkayasa sejak awal. Dugaan pemalsuan keterangan dalam akta otentik menjadi indikasi kuat bahwa ada pihak yang sengaja menciptakan kondisi hukum untuk mengambil alih tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Dengan adanya laporan pidana ini, mereka berharap pihak kepolisian dapat membuka kembali kasus ini dan mengungkap kebenaran yang selama ini tertutupi.

Sebagai pendamping hukum warga, Razak, menegaskan bahwa dengan adanya putusan pengadilan yang menunjukkan bahwa sertifikat asli masih ada dalam penguasaan warga yang digugat, maka laporan kehilangan yang diajukan oleh Nurdin dkk patut dipertanyakan keabsahannya.

“Bagaimana mungkin sertifikat bisa dikatakan hilang jika ternyata masih ada pihak yang menguasainya? Ini adalah bukti adanya rekayasa hukum yang merugikan warga,” tegasnya.

Laporan ini mengacu pada Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dapat dipidana hingga tujuh tahun penjara. Dengan semakin kuatnya indikasi pemalsuan dan rekayasa hukum dalam kasus ini, warga Bara-Baraya berharap aparat penegak hukum tidak tinggal diam.

Sampai saat ini, ancaman penggusuran terhadap 190-an warga masih menjadi ancaman nyata. Warga mendesak Pengadilan Negeri Makassar untuk menunda eksekusi hingga fakta-fakta baru yang muncul benar-benar ditelusuri dan dipertimbangkan dalam putusan hukum. Mereka berharap langkah ini tidak hanya menyelamatkan mereka dari kehilangan tanah dan tempat tinggal, tetapi juga membongkar praktik mafia tanah yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

 

 

 

Dwiki Luckianto Septiawan