Diskusi Publik Soroti Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat: Seruan Mendesak untuk Perlindungan Ekosistem Laut
RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Kekhawatiran terhadap ekspansi industri tambang nikel di wilayah pesisir dan laut kembali mencuat dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Dampak Tambang Nikel pada Ekosistem Pesisir-Laut: Geger dan Cemas dari Raja Ampat”. Diskusi ini berlangsung di Cafe Boska Tanjung Bunga, Makassar, pada Selasa sore (10/6), dan dihadiri oleh pegiat lingkungan, akademisi, mahasiswa, serta masyarakat sipil.
Acara ini merupakan kolaborasi berbagai lembaga dan jaringan, seperti Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKL Indonesia), EcoNusa Foundation, Indonesian Fisheries Society (IFS), Jaringan LSM dan Praktisi Kelautan, serta organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam gerakan PELAKOR (Peduli Laut dan Konservasi Ruang Laut).
Diskusi ini dibuka dengan pemutaran film dokumenter pendek berjudul “Raja Ampat: Pertaruhan Para Pihak”, yang menggambarkan potret konflik kepentingan antara industri pertambangan dan keberlanjutan lingkungan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya—salah satu kawasan laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
“Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Indonesia, tapi warisan dunia. Jika hutan dan lautnya rusak karena tambang nikel, itu bukan hanya kerugian ekologis tapi juga sosial dan budaya,” tegas Ahmad Yusran.
Kekhawatiran Mendesak: Nikel, Iklim, dan Kehidupan Pesisir
Dalam diskusi yang berlangsung intens ini, berbagai data disampaikan mengenai dampak penambangan nikel terhadap lingkungan, termasuk sedimentasi laut, pencemaran air, degradasi terumbu karang, dan hilangnya wilayah tangkapan nelayan. Beberapa studi juga mengaitkan aktivitas tambang dengan perubahan struktur sosial di masyarakat pesisir, mulai dari konflik lahan hingga hilangnya mata pencaharian tradisional.
Pembicara dari kalangan ilmuwan kelautan menggarisbawahi bahwa investasi besar-besaran dalam pertambangan nikel, yang disebut-sebut sebagai bagian dari transisi energi hijau untuk produksi baterai kendaraan listrik, justru berpotensi menjadi paradoks jika mengorbankan kawasan dengan nilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat.

Tinggalkan Balasan