“Di mana ada perbedaan, pasti ada pembedaan. Dan dimana ada pembedaan pasti ada diskriminasi dan disitu ada pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan.”

RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Stigma berkeluarga bagi masyarakat awam adalah ibu, ayah, dan anak. Hal itu terus digagas hingga termaktub ke dalam program pendidikan yang selama ini didefinisikan pemerintah sebagai keluarga yang lengkap.

Ide itu memberikan luka hingga berujung penolakan bagi beberapa orang, juga menghadirkan kritik terhadap rumah tangga yang dianggap tak normal karena tidak mengaminkan gagasan itu. Perasaan ini adalah nyata.

Sistem yang telah disusun sedemikian rupa itu mendukung bagaimana orang-orang harus sesuai gender. “Perempuan harus begini, laki-laki harus begitu,” kata Gege, yang merupakan perwakilan dari Komunitas Sehati Makassar.

Bagaimana cara menciptakan orang baik itu? “Tantangan ini dimulai dari rumah,” ujarnya.

“Ketika saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya berbeda, mereka tidak masalah. Masalahnya berada di saya,” imbuhnya.

Gerakan Kolektif Akibat Gelisah yang Serupa

Semuanya berawal dari kekuatan untuk saling merawat karena kami memiliki masalah yang lebih besar. Air mata. “Saya merasa kita harus melakukan sesuatu,” ucap Gege.

2007, awal mula perlawanan terhadap gelisah yang sepakat untuk berangkat bersama. “Kami memperoleh banyak dukungan yang sebenarnya muncul akibat dari toleransi,” kata dia (lagi).

Mereka yang mengalami diskriminasi akhirnya hadir untuk mendampingi. Fokusnya pada edukasi kampanye, dan pendampingan bagi mereka yang fokus pada kekerasan seksual dan gender.

Tantangan ini tidak hanya dari sendiri. Namun, masuk lagi kepada masyarakat, pemerintah. Kemudian, yang bersuara akhirnya lagi-lagi diserang. Tantangan ini adalah sistem masa lampau yang diskriminatif. Dan ini berasal dari mereka yang memiliki power.