Pergerakan Kebangsaan ala Bung Hatta, Ditelaah Ulang
“Kebangsaan dan kerakyatan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan,” kata Hasbullah. Bagi Hatta, konsep kebangsaan rakyat menempatkan pendidikan dan kesadaran massa sebagai fondasi perjuangan. Karena itu, Hatta dan Sutan Sjahrir menempatkan pendidikan rakyat sebagai strategi utama perjuangan. Hatta juga mengkritik demokrasi Barat yang individualistik dan bermuara pada demokrasi kapitalistik.
“Bagi Hatta, demokrasi ada di desa, di mana ada musyawarah, tolong-menolong, dan cita-cita kolektif,” pungkas Hasbullah.
Dalam sesi tanggapan, peserta menilai pemikiran Bung Hatta tetap relevan. Seorang peserta menyoroti bahwa perjuangan kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju kedaulatan politik, ekonomi, dan sosial. Ia menilai kondisi Indonesia hari ini justru menunjukkan dominasi “kebangsaan cap ningrat”, di mana kebangsaan yang dikedepankan hanya menguntungkan segelintir elit untuk kepentingan kelompoknya sendiri.

Menanggapi hal itu, Rahmadi mengatakan, “Nasionalisme tidak boleh tercerabut dari kepentingan dan kedaulatan rakyat.” Ia mengkritik kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan nasional, mengatasnamakan rakyat tetapi menjauh dari kedaulatan rakyat.
Hasbullah menambahkan, asas kerakyatan berarti rakyat memiliki hak menentukan nasibnya sendiri. “Problemnya adalah keinsyafan rakyat, dan tugas kita adalah menyadarkan rakyat bahwa kita itu berdaulat,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan refleksi bahwa membaca kembali Bung Hatta bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan upaya menguji kembali arah kebangsaan Indonesia hari ini. Seperti disimpulkan moderator, Hatta “mencoba meredefinisi arti pergerakan kemerdekaan agar kita tidak terjebak pada cita-cita utopis, tetapi kemerdekaan yang bisa diraih dan dijaga.”
Diskusi ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik ASN mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta. (RW)








Tinggalkan Balasan