“Intervensi yang dilakukan meliputi intervensi spesifik yaitu bagaimana meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan sasaran termasuk remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan anak dibawah 2 tahun dan pemberian tablet tambah darah, yang kedua yaitu intervensi sensitif berkaitan dengan penyediaan sanitasi yang baik, perubahan perilaku dan praktik pengasuhan anak,” ujar Prof Rizal.

“Untuk menurunkan stunting, 30 persen bergantung kepada intervensi spesifik dan 70 persen bergantung kepada intervensi sensitif, sehingga perlu penguatan dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) kader pendamping keluarga dalam memberikan penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat,” ujar prof rizal.

Prof. Rizal menyampaikan berdasarkan data SSGI dari Kementerian Kesehatan angka Stunting Indonesia turun dari angka 24,4 persen tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022.

“Meski demikian angka ini masih diatas batas toleransi yang ditetapkan oleh WHO sebesar 20 persen setiap negara,” ujar Prof. Rizal.

Untuk mencegah Stunting, lanjut Prof Rizal pemenuhan gizi di 1000 hari pertama kehidupan sangat penting, salah satunya dengan memanfaatkan pangan lokal untuk memenuh kebutuhan gizi ibu dan anak.

“Sangat tidak pantas jika Stunting terjadi di negara kita yang kaya dengan sumber daya alam, jadi ada yang salah dengan pola asuh di masyarakat kita, perlu dilakukan edukasi pada masyarakat bagaimana pola asuh yang benar, bagaimana memanfaatkan dan mengolah pangan lokal menjadi sumber gizi yang baik bagi ibu dan anak,” kata Prof Rizal.

Dalam kesempatan itu, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Ritamariani mengatakan dalam implementasi Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan turunannya Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, BKKBN Sulsel didukung dengan adanya Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Percepatan Penurunan Stunting.