Zulkifly juga menekankan, perubahan kewenangan pengelolaan. Jika sebelumnya Dinas Tata Ruang menjadi leading sector dalam perhitungan sewa, kini sesuai Permendagri Nomor 7, pihak pemilik aset jalan menjadi penanggung jawab.

“Kalau berbicara soal jalan, tentu yang memegang kewenangan adalah Dinas Pekerjaan Umum (PU). Ini perubahan besar yang harus kita perhatikan,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa forum kerja sama dengan investor harus tetap dilaksanakan untuk memastikan mekanisme investasi dan retribusi sejalan dengan regulasi pusat.

“Makassar punya potensi besar di sektor telekomunikasi. Investasi fiber optik kita termasuk yang tertinggi, sehingga peluang masuknya banyak provider harus diatur dengan baik,” tuturnya.

Zulkifly mencontohkan pengalaman internasional sebagai referensi pengembangan. Dimana, di Singapura, ducting sharing memungkinkan beberapa pipa dalam satu jalur.

“Nilai investasinya memang lebih besar, tetapi hasilnya rapi dan efisien. Kita harus menyiapkan model serupa agar tidak ada lagi penggalian ulang di masa depan,” jelasnya.

Ia menegaskan, keberadaan ducting sharing di Makassar bukan hanya untuk estetika kota, tetapi juga untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan jaringan provider.

“Saat ini baru ada sekitar tujuh provider, namun ke depan jumlahnya bisa jauh lebih banyak. Karena itu, desain dan kapasitas ducting harus dipersiapkan sejak awal,” tutupnya.

Sedangkan, PT Tiga Permata Bersinar memaparkan rencana teknis pembangunan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) atau ducting sharing yang akan mulai dikerjakan awal tahun 2026.

Proyek ini mencakup enam ruas jalan utama Kota Makassar, dengan desain khusus yang mengintegrasikan jalur kabel optik berbagai provider ke dalam satu jaringan bawah tanah.

Komisaris PT Tiga Permata Bersinar, Ricky Fandi, menjelaskan bahwa tahap awal pembangunan akan meliputi Jalan Boulevard, Jalan Pengayoman, Jalan Haji Bau, Jalan Sultan Hasanuddin, dan beberapa ruas strategis lainnya.

YouTube player