Dengan pesan ini, saya ingin memberikan justifikasi bahwa komentar atau opini yang sengaja didaur oleh segilintir orang yang terkadang menganggap dirinya paling paham dan mengerti tentang tata ruang kota dan lingkungan melalui media sosial maupun kolom opini surat kabar, sesungguhnya mereka tidak mengerti sama-sekali tentang apa yang diomongkan (dangkal pemahaman), hanya karena adanya kebencian dan dislike secara politik, menambah kekeruhan ruang publik dengan provokasi yang bernada kebencian dan cacian tanpa dilatari akal dan argumen yang sehat.

Orang yang berargumen yang didasari kebencian seperti ini merupakan mereka yang sesungguhnya sedang “mengalami krisis mental”, butuh ruang aktualisasi, dan media sosial menjadi panggung yang mudah untuk diakses, dengan memproduksi narasi-narasi yang hanya berdasarkan asumsi–asumsi liar tanpa didasari oleh sumber data yang otentik dari analisis kajian yang mendalam. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Sawedi, yang seolah-olah paling mengerti atau paling paham tentang konsep ideal dalam membangun tata ruang kota, sok memakai pendekatan teori interaksi simbolik yang tidak relevan (terkesan dipaksakan), pada hal sesungguhnya saudara Sawedi sama sekali buta huruf tentang itu.

Menerima Pendapat Orang Lain

Namun setajam apapun kritikan tersebut, tidak menghentikan Danny Pomanto untuk terus melakukan yang terbaik untuk warga dan kotanya, membuat kebijakan yang dua kali tambah lebih baik, yang tidak hanya terlihat cantik tetapi juga memberi kenyamanan kepada semua, tidak hanya membuat bangunan yang megah tetapi juga tidak merusak jalur perahu nelayan yang mencari ikan untuk keluarganya. Wali Kota Makassar dalam pengetahuan saya, selalu welcome ketika diberikan ide-ide alternatif, gagasan solutif, ia kerap shering dengan berbagai pihak untuk memperoleh informasi yang utuh tentang sebuah masalah, ia tidak pernah menutup diri ketika di buka atau diundang dalam ruang dialog para aktivis pemuda dan mahasiswa.